Sabtu, 20 Mei 2017

Mengunjungi Wae Rebo Lagi


Ruteng sudah terlihat sepi ketika mobil travel yang kutumpangi mulai memasuki kota. Sudah jam 9 malam. Rencananya malam ini aku menginap di rumah Ican, temanku, yang berada di dekat gereja katedral. Tahun lalu ketika pulang dari Reo aku juga menginap di rumahnya.
Tujuanku ke Flores kali ini untuk mengunjungi desa adat Wae Rebo kembali. Sebelumnya aku sudah janjian sama Franz, temenku asal Ambon yang kuliah di Makasar. Frans sendiri sudah di tiba di Ruteng siang hari tadi. Sementara Ican tidak ada di rumah. Ican tinggal di Ende karena sudah diterima kerja di BNI Cabang Ende. Sekarang di rumah cuma ada papa, mama, salah satu kakak laki-lakinya dan seorang pembantu. 

14 Februari 2017.
Pagi-pagi aku langsung ke hotel Rima untuk menyewa motor.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo, aku dan Frans menyempatkan diri jalan-jalan di sekitar bandara Ruteng. Penerbangan dari dan ke Ruteng cuma ada beberapa kali dalam seminggu. Kebetulan hari itu tidak ada penerbangan, jadi kami bisa masuk ke dalam bandara melalui pagar belakang yang terbuka dan berfoto-foto di landasan pacunya.

Persawahan yang indah di sebelah bandara Ruteng

Siap tinggal landas menuju Wae Rebo 

Kami kembali ke rumah sebentar untuk berpamitan dengan keluarga Ican dan jam 9 pagi kami berangkat menuju Wae Rebo melalui jalur desa Iteng. Kami bergerak ke arah selatan Ruteng menyusuri jalan yang terus menanjak, sempit dan berkelok. Kabut turun lumayan tebal ketika kami sampai di puncak gunungnya. Setelah melewati gunung, kami singgah sebentar di kios untuk mengisi bensin. Beberapa kali kami berhenti untuk bertanya kepada penduduk setempat arah menuju Dintor. Pemandangan indah dengan sawah-sawah menghijau menemani kami selama perjalanan.
Setelah kurang lebih 2 jam berkendara kami sampai di jalan dengan pantai berbatu kerikil hitam di sebelah kiri jalan. Kami beristirahat disini dan mengambil beberapa foto. Sebuah pohon tampak berdiri kokoh di tengah laut menggodaku untuk memanjatnya. Setelah melalui perjuangan extra karena harus melawan terjangan ombak akhirnya aku  bisa duduk di dahannya. Tampak di seberang pulau Mules dengan bukit batu yang menyerupai tower yang menjulang gagah. Nama pulau itu sebenarnya adalah pulau Molas yang dalam bahasa Manggarai berarti cantik. Tapi entah kenapa diplesetkan namanya menjadi Mules yang membuat orang tertawa ketika mendengar namanya pertama kali, he he.. Aku menyimpan keinginan untuk berkunjung ke pulau itu suatu hari nanti. Garis pantai dengan pasir putih dan gradasi warna air lautnya tampak begitu menggoda.

 Perjuangan extra untuk bisa duduk di sana :)

 Pantai yang indah dengan batu-batunya yang cantik

Pulau Mules

Sekitar jam 12 siang kami sampai di Dintor. Kami istirahat sebentar untuk makan siang sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke desa Denge.
Sekarang trekking ke Wae Rebo sudah bisa lebih singkat kalau kita membawa motor sendiri dari Ruteng karena motor sudah bisa sampai di Pos 1. Setelah menitipkan motor disini kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jalur langsung menanjak dan sedikit licin karena musim hujan. Beruntung cuaca hari itu lumayan cerah. Aku berjalan di belakang Franz sementara dia sibuk sesekali memvideokan perjalanan kami. 
Satu jam berjalan kami sudah sampai di pos 2 atau biasa juga di sebut pos Poco Roko. Biasanya ada sinyal telepon disini tetapi itu juga tidak tentu. Di pos ini kami bertemu dengan pasangan suami istri asli Wae Rebo yang akan turun ke desa Kombo. Mereka membawa satu ikat besar kayu manis dengan berat sekitar 20 kg. Mereka akan menjual kayu manis tersebut di pasar Kombo dengan harga Rp.12 ribu/kg. 


Kami melanjutkan perjalanan kembali setelah hampir setengah jam di sana. Baru beberapa menit berjalan, tiba-tiba hujan turun lumayan deras yang akhirnya memaksa kami mengeluarkan jas hujan. Ternyata hujan hanya turun sebentar saja. Jalur mulai menurun dan landai. Setelah melewati jembatan bambu, kami memasuki kebun kopi milik warga Wae Rebo. Itu artinya tujuan kami sudah dekat.
Beberapa menit kemudian kamipun sampai di pos 3 atau biasa juga disebut rumah kasih Ibu. Disini ada rumah pangung kecil beratap kerucut dengan kentungan di dalamnya. Pengunjung yang ke Wae Rebo wajib memukul kentungan ini beberapa kali agar terdengar oleh warga kampung. Ini sebagai pertanda kalau ada tamu yang datang. Dengan begitu ibu-ibu akan segera menyiapkan kopi dan snack untuk para tamu yang datang.
Sebelum memasuki kampung, kulihat seorang bapak tua sedang menguliti pohon kayu manis. Kami ngobrol sebentar. Aku meminta satu potong  kecil kulit kayu manis dan langsung kumakan karena penasaran dengan rasa kayu manis mentah. Rasanya manis dan sedikit getir.
Sampai di Wae Rebo kami langsung menuju rumah utama untuk mengikuti upacara Waelu disambut oleh bapak tetua adat. Setelah bertanya tentang nama dan asal kami berdua, beliau langsung berdoa, memohon izin kepada para leluhur untuk menerima tamu dan mohon perlindungan dan keselamatan hingga tamu meninggalkan kampung dan kembali ke tempat asal. Untuk upacara ini kita dikenakan sumbangan seikhlasnya.
Oh ya, ada peraturan disini yaitu dilarang keras untuk berfoto-foto sebelum mengikuti upacara Waelu. 
Setelah upacara selesai, kami dipersilahkan untuk istirahat di rumah tamu. Sore itu cuma aku dan Franz tamunya. Menurut info dari seorang warga masih ada rombongan tamu berjumlah 4 orang di belakang kami. 








Wae Rebo merupakan kampung tradisional dengan tujuh buah rumah beratap kerucut yang disebut juga Mbaru Niang. Dalam satu rumah ada ditempati 6-7 kepala keluarga. Cuma ada orang tua dan anak-anak balita yang tinggal di kampung ini. Anak-anak usia sekolah tinggal di Kombo dan desa-desa lainnya untuk mengenyam pendidikan. Seminggu sekali pulang kampung, naik ke Wae Rebo untuk bertemu dengan orang tuanya. Sedari kecil mereka sudah dibiasakan hidup mandiri. Mata pencaharian utama penduduk Wae Rebo adalah bertani dan bercocok tanam di ladang.
Setelah menaruh ransel aku dan Frans keluar rumah untuk mengambil foto dan bermain dengan anak-anak kecil yang riang gembira ketika Franz membagikan permen dan stiker buat mereka.
Ah, akhirnya setelah hampir 4 tahun, aku kembali juga ke tempat indah dan damai ini...

1 komentar:

  1. Assalamualaikum senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman-teman disini, Awal mula saya ikut pesugihan, Karena usaha saya bangkrut dan saya di lilit hutang hingga 900jt membuat saya nekat melakukan pesugihan, hingga suatu waktu saya diberitahukan teman saya yang pernah mengikuti penarikan uang ghaib dengan AKI SOLEH JAFFAR menceritakan sosok AKI SOLEH JAFFAR, saya sudah mantap hati karena kesaksian teman saya, singkat cerita saya mengikuti saran dari pak.aki saya harus memilih penarikan dana ghaib 1 hari cair dengan tumbal hewan dan alhamdulillah keesokan harinya saya di telepon oleh pak aki bahwa ritualnya berhasil dana yang saya minta 3Milyar benar-benar masuk di rekening saya, sampai saat ini saya masih mimpi uang sebanyak itu bukan hanya melunaskan hutang ratusan juta bahkan mampu membangun ekonomi saya yang sebelumnya bangkrut, kini saya mempunyai usaha di jakarta dan surabaya yang lumayan besar, saya sangat bersykur kepada allah dan berterimakasih kepada pak. AKI SOLEH JAFFAR berkat beliau kini saya bangkit lagi dari keterpurukan. Jika ada teman-teman yang sedang mengalami kesulitan masalah ekonomi saya sarankan untuk menghubungi ki sholeh jaffar di nomor ini HUBUNGI WHATSAPP 0853-7778-3331 agar di berikan arahan Atau KLIK DISINI












    BalasHapus