Rabu, 06 April 2016

Menjelajah Alam Ruteng yang Menakjubkan



Ruteng, Kota kecil dan dingin ibukota Manggarai ini merupakan kota favoritku di Flores. Sejak pertama kali kesini 3 tahun  lalu, aku sudah langsung jatuh cinta dengan kota ini. Ini adalah keempat kalinya aku kesini. Tujuan utamaku sekarang adalah melihat keindahan sawah-sawah yang ada di Ruteng. Ditemani Selvi, gadis manis nan ceriwis kenalanku yang orang asli Ruteng, pagi itu kami mengunjungi sawah lodok yang bisa dilihat dari belakang bandara Ruteng. Selama ini, mungkin wisatawan cuma mengenal sawah lodok yang ada di desa Cancar saja. Sekitar 10 menit kami sudah sampai di tempat tujuan. Menakjubkan! Itulah kata pertama yang terlintas dalam pikiranku. 



Persawahan yang berbentuk jaring laba-laba yang dibuat di perbukitan dengan titik pusat di puncak bukit. Sekilas jadi mirip piramida. Luar biasa!! Bagaimana bisa orang-orang Ruteng jaman dulu membuat bentuk sawah yang demikian rumit ini. Berkali-kali aku hanya bisa berdecak kagum. Sayang tempat ini kurang di kenal seperti halnya sawah lodok di Cancar. Padahal kalau dikelola dengan baik.ini bisa menjadi atraksi wisata alam utama di Ruteng.



Kami melanjutkan perjalanan kearah Liang Bua. Disini, di belakang rumah-rumah penduduk, lupa nama desanya, juga banyak persawahan yang indah. Sawah-sawah hijau membentang sejauh mata memandang. Benar-benar menyegarkan! Yang unik disini, sebuah pohon kelapa tumbuh menjulang di tengah persawahan. Mungkin terdengar biasa bukan? Hal ini menjadi tidak biasa karena faktanya tidak ada pohon kelapa di Ruteng! Ini bicara mengenai Ruteng ya, bukan Manggarai keseluruhan. Buat traveler yang suka akan keindahan alam seperti persawahan, Ruteng adalah surganya.






Selanjutnya kami langsung bertolak ke Cancar. Menurut Selvi, sawah di Cancar juga sedang hijau-hijaunya. Sampai di Cancar jam 11 siang dan matahari bersinar dengan sangat terik. Selvi ngobrol dengan bahasa Manggarai dengan warga disana. Entah apa yang mereka obrolkan. Setelah itu kami langsung naik untuk melihat lodok dari atas bukit. Aku bertanya, kenapa kita tidak mengisi buku tamu dan membayar iuran 20 ribu itu. Selvi menjelaskan, karena dia orang Manggarai jadi kita tidak dikenakan retribusi! Inilah salah satu keuntungan mempunyai teman orang local, heheh.. Kami tidak berlama-lama di Cancar karena cuaca panas banget! Setelah puas berfoto-foto kami langsung beranjak pergi.






Tujuan berikutnyanya adalah Desa Nanu, Rahong Utara untuk mengunjungi  Air Terjun Cunca Lega/ Tengku Lese. Sebenarnya tahun lalu aku sudah kesini tapi gagal sampai di air terjun karena hari sudah terlalu sore dan mulai gelap. Jadi untuk mengobati rasa penasaran aku kembali lagi mengunjungi air terjun ini. Perjalanan ke Desa Nanu ditempuh sekitar sejam. Aku memarkir motor di depan sebuah rumah warga , sementara Selvi membeli permen dan biscuit yang akan dibagikan ke anak-anak yang tinggal di sekitar air terjun. Dari desa Nanu ini sudah kelihatan Cunca Lega dari kejauhan. Air terjun dua tingkat berpadu dengan persawahan yang sangat indah. Untuk sampai ke air terjun kita harus trekking lagi selama sejam, melewati sawah-sawah dan perkampungan penduduk. Lumayan menguras tenaga. 



Kami istirahat setelah melewati persawahan. Cuaca yang sangat panas membuat badan cepat haus dan capek. Anak-anak kecil yang sedang bermain menghampiri kami. Selvi membagikan permen kepada mereka sambil berfoto-foto bersama. Merekapun menawarkan diri untuk menemani kami ke air terjun dengan riang gembira. Perjalanan selanjutnya melewati perkampungan tempat anak-anak itu tinggal disambut sapaan ramah para warga disana. Tidak ada tiket masuk/retribusi untuk melihat air terjun karena tempat ini memang belum dikelola baik. Setelah itu kami menyusuri parit kecil, melewati jembatan yang dibuat dari pipa paralon berwarna putih, melewati persawahan kembali dan akhirnya sampai juga di air terjun. 





Mungkin karena musim hujan, jadi debit air terjun ini menjadi sangat besar. Sebentar saja berdiri di depan air terjun badan sudah basah kuyup terkena percikan airnya. Akupun harus bersusah payah mengambil foto sambil melindungi kameraku dari percikan air. Tiba-tiba hujan turun dengan deras, anak-anak itupun langsung berlarian. Badan sudah basah kuyup ketika kami menemukan sebuah gubuk kecil di pinggir sawah untuk berteduh. Selvi mengeluarkan biscuit dari tasnya dan membagikannya buat kami semua.


Ruteng sebenarnya kaya akan potensi wisata alam yang menakjubkan. Alam yang indah dengan penduduk yang sangat ramah. Sayang pemerintah disini sepertinya enggan mengembangkannya. Selama ini cuma Wae Rebo saja yang digembar-gemborkan. Sampai kapan pariwisata Ruteng akan tetap dalam masa kegelapan? Entahlah…


Reo, Si Cantik Yang Terlantar


Kebanyakan wisatawan yang datang ke Manggarai tujuan utamanya adalah ke Wae Rebo dan melihat sawah lodok di Cancar. Jarang yang mau meluangkan waktu untuk melipir kearah utara, tepatnya ke Reo. Disini banyak pantai-pantai indah yang boleh dibilang tidak terurus. Untuk menuju Reo, aku menyewa motor di hotel Rima seharga Rp80.000,-/hari. Sebenarnya ada angkutan umum ke Reo, tapi karena aku ingin lebih leluasa dalam menikmati pemandangan, maka sewa motor adalah pilihan terbaik. 





Perjalanan ke Reo dari Ruteng buatku sangat menyenangkan. Pemandangan sangat indah. Beberapa kali aku harus berhenti untuk mengabadikan pemandangan indah yang tersaji sepanjang jalan. Luar biasa! Ada beberapa air terjun kecil  dengan airnya yang jernih dan dingin begitu menggoda setiap orang yang lewat untuk berhenti menikmati kesegaran airnya. Aku  tak melewatkan kesempatan untuk mandi sepuasnya disini. Walaupun terletak di pinggir jalan, jangan khawatir ada yang melihat kita mandi karena tertutup pepohonan dan batu-batu besar.




Waktu tempuh dari Ruteng ke Reo normalnya adalah 2 jam, tapi karena aku sering berhenti buat mengambil foto jadinya 3 jam aku baru sampai. Bertepatan dengan jam pulang anak sekolah. Beberapa anak SD melambaikan tangan bermaksud menumpang pulang. Akupun berhenti untuk memberi tumpangan pada mereka. Ada 3 anak yang ikut. Salah satunya yang kuingat bernama Aldi karena dia yang paling terakhir turun, dan akhirnya ikut mengantarku menjelajahi pantai-pantai di pesisir utara Flores ini. Pantai pertama yang kudatangi adalah pantai Jengkalang karena letaknya di dusun Jengkalang. Jarang ada orang kesini kecuali penduduk lokal. Pantai ini merupakan tempat bermainnya Aldi dan kawan-kawannya. Berpasir putih dengan air yang sangat jernih. Akupun tak tahan untuk tidak  ikut berenang menyusul  Aldi yang sudah terlebih dahulu nyebur.


Pantai Jengkalang

Puas bermain disini, Aldi mengajakku ke pantai Torong Besi, sekitar 10 menit dari pantai Jengkalang. Sama dengan pantai sebelumnya, pantai ini juga sangat indah dengan garis pantai yang panjang. Ada Sebuah bangunan dari kayu yang sudah lapuk dan sebuah ayunan dari besi yang berkarat.  Pantai ini pernah dibuka sebagai tempat wisata, tapi karena kurang dikelola dengan baik akhirnya sekarang terlantar. Sayang sekali sebenarnya, pantai seindah ini tidak diurus dengan baik dan disia-siakan.

Pantai Torong Besi 


Setelah Torong Besi, aku mengunjungi sebuah pantai indah lainnya yang tidak bernama. Di pantai ini tampak ikan-ikan kecil berenang sampai di pinggir. Lucu sekali! 





No Name Beach

Cukup lama aku disini, tidur dibawah pohon kelapa hingga sore sebelum akhirnya aku kembali ke pantai Jengkalang, ngecamp di pinggir pantai untuk bisa menikmati sunrise keesokan paginya. 

Mendadak Ke Kelimutu


Sebagai solo traveler, tentu saja aku bisa mengubah semauku jadwal yang sudah kususun jauh-jauh hari. Seperti dalam perjalanan kali ini, aku sudah berencana mengunjungi pantai Koka di Maumere, tapi lagi-lagi kubatalkan rencana tersebut. Setelah menginap semalam di Maumere, pagi itu  aku langsung bertolak ke Ende. Rencanaku  ingin sampai di Bajawa sore hari agar bisa naik gunung Inerie pada dini hari dan tentu saja berendam di air panas Mengeruda  setelah pendakian.



Sebuah longsor yang terjadi di jalan Moni – Ende menggagalkan rencanaku hari itu. Cukup lama aku menonton excavator membersihkan bekas longsoran. Berdasarkan keterangan petugas, jalan kemungkinan baru bisa dilalui setelah jam 6 malam. Ah, bĂȘte juga. Dari pada bengong ga jelas begini, kenapa tidak main ke Kelimutu saja, pikirku tiba-tiba. Cuaca lumayan cerah. Aku buru-buru mencari ojek. Sempat tawar menawar sebentar, akhirnya tukang ojek setuju dengan harga Rp.70.000,- PP.






Aku cukup beruntung , sampai di danau Kelimutu cuaca cerah. Biasanya wisatawan ke Kelimutu pagi hari buat menikmati sunrise. Mungkin karena sudah sore, aku menjadi satu-satunya pengunjung disana. Inilah yang kucari, aku jadi lebih khyusuk menikmati salah satu mahakarya sang Pencipta ini, hehe.. Hari itu warna air danau bagus banget. Danau tempat berkumpulnya arwah orang jahat berwarna hitam kemerahan. Sedangkan danau tempat berkumpulnya arwah muda mudi  berwarna biru tosca. Indah sekali!! Sekitar sejam aku menikmati sunyinya Kelimutu, duduk merenung di tebing pinggir danau ( sebenarnya hal ini dilarang petugas Taman Nasional Kelimutu, karena berbahaya). 







Karena kabut sudah turun, aku bergegas kembali ke parkiran karena tidak enak sama tukang ojek yang kelamaan menunggu.