Minggu, 07 Desember 2014

Mendaki Gunung Batok

Gunung Batok, namanya mungkin tidak setenar saudara dekatnya seperti Bromo dan Semeru. Tapi gunung ini selalu paling narsis di foto bila ada artikel- artikel yang mengulas tentang keindahan Bromo. Bahkan ketika aku masih kecil malah mengira inilah gunung Bromo. Kesempatan untuk mendaki gunung Batok tidak kusia-siakan dalam kunjunganku ke Bromo kali ini.

Kusetel alarm di hpku pada jam 3.30 pagi. Si penjual edelweiss berjanji menjemputku di warung depan penginapan jam 4 pagi. Aku tidur jam 9 malam, agar staminaku baik saat pendakian besok. Tapi dasar aku memang tidak sabar untuk mendaki, jam 3 pagi aku sudah bangun. Aku langsung ke kamar mandi untuk cuci muka. Lalu duduk di ruang tamu sambil nonton TV. Tiba-tiba ada sms masuk dari si bapak edelweiss yang memberitahu kalau dia tidak bisa mengantarku karena anaknya sakit. Agak kecewa sebenarnya dan akupun bermaksud untuk tidur lagi.


Tiba-tiba muncul keinginanku untuk menikmati sunrise dari kawah Bromo saja. Aku langsung berkemas dan langsung keluar rumah. Brrrrrr.. udara dingin langsung menyergapku. Tidak ada orang kulihat di loket masuk kawasan Bromo. Aku berjalan terus. Kulihat 2 orang  pria duduk diatas motornya masing-masing.
"Ojek mas" sapa salah satu dari mereka.
"Saya mau  mendaki gunung Batok, ada yang bisa antar? " langsung saja aku utarakan tujuanku.
"Oh, ke puncak Batok ya mas, saya bisa antar" sahut orang yang satunya lagi.
"Berapa ongkosnya mas" tanyaku. 
"150 ribu" jawabnya. Ternyata sama dengan si bapak penjual edelweiss.
"Oke, ayo berangkat" jawabku dengan semangat.
"Siap boss..!!!" ucapnya sambil menstarter motornya.


Motorpun melaju menembus kegelapan malam. Kabut sangat tebal sehingga jarak pandang sangat terbatas. Aku jadi pesimis bisa menikmati sunrise dari puncak Batok. Tidak beberapa lama kamipun sampai di kaki Batok. Setelah memarkir motornya di dekat toilet, kami langsung melakukan pendakian. Jalur pendakian sangat terjal dan hampir tidak ada tempat berpegangan. Salah melangkah sedikit, mungkin sudah menggelinding ke jurang. Cukup memacu adrenalin pendakian ke gunung ini. 


Puncak Batok

Akhirnya setelah mendaki selama 40 menit kami sampai juga di puncak gunung. Sebuah tiang kayu dengan bendera yang sudah mulai robek menyambut kami. Lega rasanya, kupanjatkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Puncak Batok berupa dataran berpasir yang cukup luas. Terdapat tumbuhan cantigi tumbuh di beberapa tempat. Ternyata ada pelinggih ( pura kecil ) di bagian  barat menghadap ke utara. Kusempatkan diri berdoa sebentar di depan pelinggih.




Pemandangan dari sini benar-benar indah. Tampak di kejauhan puncak gunung Semeru. Kabut masih menyelimuti sehingga keindahan yang tersaji kurang maksimal. Bau belerang dari kawah Bromo tercium juga dari sini. Cukup lama kami dipuncak  Batok sambil berharap kabut segera hilang. Ternyata kabut malah makin tebal sehingga kamipun memutuskan untuk turun.

Ke Bromo ( Lagi )


Mark,  bule Jerman teman seperjalanan yang kutemui di Sempol ketika turun dari kawah Ijen memilih menginap  di Probolinggo sebelum ke Bromo. Sudah hampir jam 6 petang, tentu saja sudah tidak ada Elf yang ke Bromo. Beberapa tukang ojek menawarkan jasa ojeknya kepadaku. Setelah tawar menawar yang cukup alot, akhirnya mentok di harga 75 ribu. Tapi ngga apa-apalah, yang penting aku ga tidur di Probolinggo malam ini.


Gerimis turun ketika motor yang kutumpangi  memasuki  Cemoro Lawang. Setelah turun dari motor dan membayar ongkos ojek aku langsung berlari ke sebuah warung untuk berteduh sekalian memesan kopi dan mie rebus. Seorang bapak di warung menawari aku untuk menginap di rumahnya. 
"Berapa semalam pak? " tanyaku.
"150 ribu aja mas, saya kasih satu rumah, dengan dua kamar empat tempat tidur" jawabnya.
" Lagi sepi soalnya, kalau akhir pekan atau musim liburan biasanya saya kasih harga 700 ribu semalam" lanjutnya.
Aku cuma sendirian, ngapain juga tempat tidur banyak. Aku tertawa dalam hati. 
" Oke deh pak saya mau " jawabku. Males juga kalau harus nyari penginapan lagi malam-malam begini.



Selesai makan, pak Andik, nama bapak tersebut, langsung mengajakku ke rumah yang dimaksud. Sebuah rumah dengan 2 kamar tidur ukuran 2 x 2. Dua buah tempat tidur ada di ruang tamu lengkap dengan selimut yang super tebal. Sebuah televisi 14" dan satu set sofa melengkapi ruang tamu sederhana itu. Dapur dan kamar mandi ada di bagian belakang rumah. Rumah ini cocok disewa untuk sekeluarga yang ingin berwisata di Bromo, bukan buat solo backpacker sepertiku. Harga 700 ribu masih pantaslah kalau buat satu keluarga dengan 4 anak. Sementara pak Andik dan keluarganya tinggal di rumah sebelah.




Bangun jam 7 pagi, aku berjalan-jalan menikmati pagi di kebun kol dan bawang di belakang rumah. Aku kembali lagi ke rumah, tidur-tiduran di sofa sambil nonton tv. Jam 9 pagi selesai mandi aku berjalan ke arah hotel Cemoro Indah untuk menikmati pemandangan gunung Bromo dari sini.



Tiba-tiba dari arah bawah sebelah kanan tempatku berdiri muncul seseorang sambil menuntun kuda. Wah ternyata ada jalur khusus tersembunyi rupanya buat ke Bromo. Lumayanlah dari pada harus bayar tiket masuk yang harganya naik gila-gilaan itu, hehehe. Segera aku berjalan ke arah jalur tersebut, menuruni tebing. Cuma harus hati-hati melangkah karena kotoran kuda berserakan dimana-mana. 





Aku berjalan terus ke arah Pura Luhur Poten. Cuaca sedikit mendung jadi panas terik matahari tidak begitu terasa. Beberapa orang menawariku untuk naik kuda tapi kutolak dengan halus. Tidak banyak pedagang edelweiss seperti 2 tahun lalu. Jam 11 siang aku sudah sampai di pinggir kawah Bromo. Beberapa turis asing tampak sibuk memotret ke arah kawah. Kuarahkan pandangan ke arah gunung Batok. Tiba-tiba kulihat bendera Merah Putih berkibar di puncaknya. Ternyata ada juga yang mendaki gunung itu, pikirku. 




Hasrat mendakiku pun bergelora. Kuhampiri  seorang penjual edelweiss dan minuman yang sedang duduk di dekat tangga. 
" Pak, saya lihat ada bendera di puncak Batok, memangnya ada yang mendaki kesana ya " tanyaku.
" Ada mas, cuma ga begitu sering. Dua hari yang lalu saya baru antar turis dari Jerman naik kesana" jawabnya.
"Kalau mas mau naik, saya bisa antar" sambungnya. 
"Naiknya berapa jam dan jalurnya dari mana?" tanyaku lagi.
"Sebentar kok, ngga sampai sejam, itupun nyantai. Naiknya dari belakang toilet tuh" jawabnya sambil menunjuk toilet yang berada di kaki gunung Bromo. 
"Ongkos antarnya berapa pak" tanyaku lagi. 
"150 ribu mas, kalau untuk orang asing saya biasanya minta 300 ribu. Nanti saya jemput di penginapan, kita berangkat jam 4 pagi" jawabnya.
"Oke deh pak, deal ya" akupun menyetujuinya. Kami lalu bertukar nomor hp. Menarik juga, daripada menikmati sunrise dari Penanjakan yang sudah terlalu mainstream, melihat sunrise dari puncak Batok tentu merupakan tantangan tersendiri.




Kami pun ngobrol ngalor ngidul beberapa saat, sambil menikmati keindahan kawah Bromo. Berbeda dengan 2 tahun lalu, sekarang sudah ada pagar pembatas di pinggir kawah yang tentu saja menambah rasa aman para wisatawan. Karena hari mulai semakin panas, dan perut yang semakin lapar, akupun berpamitan pada si bapak untuk turun kembali ke penginapan

Sabtu, 06 Desember 2014

Air Terjun Balawan


Setelah turun dari kawah Ijen aku berencana ke Bromo hari ini. Walaupun sudah pernah kesana 2 tahun lalu, tapi keindahan tempat itu membuatku ingin mengunjunginya kembali. Kutemui pak Im di dapur untuk berpamitan. Pak Im malah menyuruhku menunggu sebentar karena dia juga mau turun ke Balawan menemui salah seorang saudaranya. Dia menyarankan untuk menginap saja di Balawan, karena disana ada air terjun dan pemandian air panas. Menarik juga, pikirku. Setelah berpegal ria naik kawah Ijen, mandi air panas tentu tentu hal yang sangat menyenangkan. Lagi pula aku tidak dikejar waktu, jadi kuputuskan untuk berleha-leha satu hari di Balawan.

Kolam renang di depan kamar homestay

Jam 11 siang pak Im memboncengku dengan motor GL Pro-nya menuju Balawan. Sampai di Balawan, pak Im menurunkan aku di depan Homestay Catimor. Kuselipkan selembar uang 50 ribuan di saku jaketnya walaupun sebelumnya dia sudah menolak. Ngga enak rasanya udah dikasih tumpangan tidur dan ojek gratis.

Bunga bermekaran di halaman homestay

Aku langsung menuju lobby untuk memesan kamar. Harga termurah 150 ribu permalam. Langsung aku iyakan. Sebuah kolam renang ada di depan kamarku. Di sebelahnya juga ada kolam kecil air panas alami. Setelah mandi aku tidur siang sebentar karena masih capek.

Sungai kecil sebelum air terjun
Jam 2 siang aku bangun  tidur. Aku bertanya pada mbak resepsionis homestay, tentang air terjun Balawan. Dengan ramah mbaknya menjelaskan tentang air terjun yang dimaksud. Aku berjalan melewati perumahan karyawan PT PTP dan sebuah kolam permandian air panas. Di Balawan ini, banyak sekali sumber air panasnya. Mulai dari di tebing-tebing, parit kecil maupun yang muncul dari bawah pohon. Setelah berjalan sekitar 20 menit melewati sebuah jembatan kecil dan beberapa buah anak tangga, akhirnya aku sampai di air terjun.


Air Terjun Balawan

Debit airnya begitu besar. Cuma seorang diri di tempat sepi ditemani gemuruh air terjun membuatku agak takut. Apalagi suasana agak gelap karena rimbunnya pepohonan. Entah berapa ketinggiannya, karena airnya langsung jatuh ke jurang sempit yang entah dimana tembusnya. Sebuah sumber air panas berada di bawah pohon besar yang sudah dipasangi pipa kecil sehingga membentuk sebuah pancuran kecil. Aku melongok ke atas, kali aja ada mbak kunti lagi nangkring di dahan pohon memperhatikan aku yang lagi sendirian di bawah, hehe..






Bunga-bunga sedang bermekaran dengan indahnya

Tidak sampai 10 menit aku langsung cabut dari tempat menyeramkan itu. Aku mampir di pemandian air panas. Tampak 2 orang wisatawan asing tengah asyik berendam. Dengan membayar Rp. 5000 akupun berendam sepuasnya sampai menjelang petang ditemani sepiring mie goreng.

Belajar Arti Bersyukur Dari Kawah Ijen


Hari sudah gelap ketika bus yang kutumpangi memasuki terminal Bondowoso, kota kecil yang terkenal akan tapenya. Kuambil ranselku dan bergegas turun. Mampir di warung pecel dekat terminal untuk mengisi perut, sambil ngobrol seadanya dengan para tukang becak yang kebetulan mangkal disana. Aku harus menunggu sampai besok pagi karena sudah tidak ada lagi angkutan ke Sempol. Seorang tukang becak menawariku untuk menginap di sebuah hotel yang direkomendasikan olehnya. Harga kamar 200 ribu semalam. Kutolak dengan halus tawaran tersebut.

Kali ini aku memang berniat traveling seirit mungkin. Aku beranjak menuju sebuah mushola yang kebetulan kosong, bermaksud untuk numpang tidur disini saja. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Terminalpun sudah mulai sepi. Kuambil matras dan sleeping bag dan mencoba untuk tidur.

Aku terbangun jam 6 pagi dan langsung ke toilet untuk cuci muka dan gosok gigi. Setelah meringkas barang- barangku bergegas aku ke ruang tunggu terminal. Sebuah mobil elf jurusan Sempol tampak sudah standby menunggu penumpang. Nasi bungkus seharga 5000 rupiah + 2 buah tahu isi menjadi menu sarapanku pagi ini.


Jam setengah 8 pagi, mobil  sudah penuh oleh penumpang dan barang dagangan. Sopir menaruh ranselku diatas mobil. Tak ada pemandangan istimewa selama perjalanan menuju Sempol. Sesekali aku tertidur karena semalam aku tidur kurang nyenyak karena gangguan nyamuk di mushala terminal. Beberapa penumpang asyik ngobrol dengan bahasa madura yang sama sekali aku tidak mengerti.

" Bangun mas ", penumpang disebelah membangunkan aku dengan menepuk bahuku. Ternyata sudah sampai di Sempol.  Menurut sopir untuk melanjutkan perjalanan ke Paltuding, hanya bisa menggunakan jasa ojek karena angkutan umum cuma sampai Sempol. Seorang remaja tanggung menghampiriku menawarkan jasa ojek. Setelah tawar menawar sebentar akhirnya dia setuju dengan harga 50 ribu dari harga 70 ribu yang ditawarkannya.


Kamipun segera meluncur menuju Paltuding. Udara sejuk mulai terasa ketika memasuki daerah Balawan yang terkenal akan kebun kopi Arabikanya. Sekitar satu jam kemudian sampailah aku di Poltuding. Kulangkahkan kakiku menuju warung makan di sebelah parkiran. Warung pak Im, cukup terkenal di kalangan backpacker. Pak Im, orang Banyuwangi keturunan Madura, bekas penambang belerang yang sudah pensiun dan sekarang menjadi guide untuk wisatawan asing. Pak Im cukup fasih berbahasa Inggris dan Prancis, karena kebanyakan tamu yang dihandlenya berasal dari Prancis. Dia mempersilahkan aku untuk tidur di warungnya.


Malam harinya pak Im mengajakku bergabung dengan teman-temannya bermain domino untuk mengisi waktu. Walaupun aku kurang suka main judi, aku tergoda juga. Malam itu keberuntungan ada padaku. Aku menang 180 ribu, hahahaha... lumayan buat tambahan bekal di perjalanan. Di Poltuding warga masih menggunakan genset karena listrik belum masuk. Jam 11 malam genset pun dimatikan. Aku ikut tidur di dapur dekat tungku perapian bersama beberapa orang guide yang juga akan mengantar tamunya malam ini.

Jam 2 pagi kami mulai pendakian ke kawah Ijen. Jalan menuju puncak ijen sudah bagus dan lebar dengan kemiringan yang tidak begitu curam. Cocok untuk pendaki pemula. Walaupun sudah lumayan sering mendaki gunung, aku dibuat ngos-ngosan juga. Mungkin karena aku jarang berolahraga dan tanpa persiapan kalau mau mendaki.




Sekitar jam 4 pagi aku sudah sampai di puncak. Kabut sangat tebal menghalangi pandangan. Kuikuti beberapa penambang belerang turun ke kawah. Aku ingin melihat langsung blue fire yang katanya cuma ada dua di dunia. Jalur turun ke bawah sangat curam, jadi kita harus extra waspada dan hati-hati. Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di dekat kawah. Beberapa turis lokal maupun asing sudah ada disana, asyik mengabadikan si api biru. Bau belerang yang sungguh menyengat membuatku tidak tahan berlama-lama di bawah, walaupun sudah kututup hidungku dengan syal.  Ditambah angin yang bertiup cukup kencang membuat mata perih. Setelah mengambil foto sekedarnya, akupun bergegas naik lagi.




Seorang bapak penambang belerang menawari aku sebuah patung kecil berbentuk kepiting dari belerang seharga 5 ribu rupiah. Aku langsung membelinya tanpa pikir panjang ditambah satu patung lagi berbentuk kura-kura. Hitung-hitung membantu keuangannya walaupun tidak seberapa. Melihat kehidupan para penambang belerang di sini membuatku malu karena sering lupa bersyukur. Mereka para penambang bekerja dari subuh, memikul beban yang tidak ringan, berjalan turun naik di medan yang terjal tanpa mengeluh biar dapur mereka bisa ngebul. Belum lagi dengan ancaman penyakit yang menghantui karena tiap hari menghirup uap belerang.Rata-rata belerang yang bisa dibawa sekali jalan seberat 60 - 80 kg dengan harga 700 rupiah per kilonya. Sehari mereka cuma bisa dua kali mengambil belerang. Jadi bisa dibayangkan berapa penghasilan mereka perharinya.






Hari sudah terang ketika aku sudah sampai diatas. Sementara di bawah kabut tebal dan asap belerang masih menutupi kawah. Aku duduk menikmati pagi itu dengan makan biskuit sambil ngobrol dengan dua orang turis dari Malaysia dan guide yang menjadi teman main domino tadi malam.

How to get there ?
Dari Surabaya  naik bus jurusan Bondowoso dengan tarif Rp.50.000,-
Dari Bondowoso naik Elf jurusan Sempol dengan tarif Rp.25.000,-
Dari Sempol naik Ojek ke Paltuding dengan tarif Rp.50.000,- ( nego )
Tarif masuk kawah Ijen : Rp. 5000,-
Disarankan membawa biskuit, permen dan rokok atau camilan kecil lainnya untuk dibagikan kepada penambang belerang yang kita temui di perjalanan. Mereka akan dengan senang hati menerimanya.