Hari sudah gelap ketika bus yang kutumpangi memasuki terminal Bondowoso, kota kecil yang terkenal akan tapenya. Kuambil ranselku dan bergegas turun. Mampir di warung pecel dekat terminal untuk mengisi perut, sambil ngobrol seadanya dengan para tukang becak yang kebetulan mangkal disana. Aku harus menunggu sampai besok pagi karena sudah tidak ada lagi angkutan ke Sempol. Seorang tukang becak menawariku untuk menginap di sebuah hotel yang direkomendasikan olehnya. Harga kamar 200 ribu semalam. Kutolak dengan halus tawaran tersebut.
Kali ini aku memang berniat traveling seirit mungkin. Aku beranjak menuju sebuah mushola yang kebetulan kosong, bermaksud untuk numpang tidur disini saja. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Terminalpun sudah mulai sepi. Kuambil matras dan sleeping bag dan mencoba untuk tidur.
Aku terbangun jam 6 pagi dan langsung ke toilet untuk cuci muka dan gosok gigi. Setelah meringkas barang- barangku bergegas aku ke ruang tunggu terminal. Sebuah mobil elf jurusan Sempol tampak sudah standby menunggu penumpang. Nasi bungkus seharga 5000 rupiah + 2 buah tahu isi menjadi menu sarapanku pagi ini.
Jam setengah 8 pagi, mobil sudah penuh oleh penumpang dan barang dagangan. Sopir menaruh ranselku diatas mobil. Tak ada pemandangan istimewa selama perjalanan menuju Sempol. Sesekali aku tertidur karena semalam aku tidur kurang nyenyak karena gangguan nyamuk di mushala terminal. Beberapa penumpang asyik ngobrol dengan bahasa madura yang sama sekali aku tidak mengerti.
" Bangun mas ", penumpang disebelah membangunkan aku dengan menepuk bahuku. Ternyata sudah sampai di Sempol. Menurut sopir untuk melanjutkan perjalanan ke Paltuding, hanya bisa menggunakan jasa ojek karena angkutan umum cuma sampai Sempol. Seorang remaja tanggung menghampiriku menawarkan jasa ojek. Setelah tawar menawar sebentar akhirnya dia setuju dengan harga 50 ribu dari harga 70 ribu yang ditawarkannya.

Kamipun segera meluncur menuju Paltuding. Udara sejuk mulai terasa ketika memasuki daerah Balawan yang terkenal akan kebun kopi Arabikanya. Sekitar satu jam kemudian sampailah aku di Poltuding. Kulangkahkan kakiku menuju warung makan di sebelah parkiran. Warung pak Im, cukup terkenal di kalangan backpacker. Pak Im, orang Banyuwangi keturunan Madura, bekas penambang belerang yang sudah pensiun dan sekarang menjadi guide untuk wisatawan asing. Pak Im cukup fasih berbahasa Inggris dan Prancis, karena kebanyakan tamu yang dihandlenya berasal dari Prancis. Dia mempersilahkan aku untuk tidur di warungnya.

Malam harinya pak Im mengajakku bergabung dengan teman-temannya bermain domino untuk mengisi waktu. Walaupun aku kurang suka main judi, aku tergoda juga. Malam itu keberuntungan ada padaku. Aku menang 180 ribu, hahahaha... lumayan buat tambahan bekal di perjalanan. Di Poltuding warga masih menggunakan genset karena listrik belum masuk. Jam 11 malam genset pun dimatikan. Aku ikut tidur di dapur dekat tungku perapian bersama beberapa orang guide yang juga akan mengantar tamunya malam ini.
Jam 2 pagi kami mulai pendakian ke kawah Ijen. Jalan menuju puncak ijen sudah bagus dan lebar dengan kemiringan yang tidak begitu curam. Cocok untuk pendaki pemula. Walaupun sudah lumayan sering mendaki gunung, aku dibuat ngos-ngosan juga. Mungkin karena aku jarang berolahraga dan tanpa persiapan kalau mau mendaki.



Sekitar jam 4 pagi aku sudah sampai di puncak. Kabut sangat tebal menghalangi pandangan. Kuikuti beberapa penambang belerang turun ke kawah. Aku ingin melihat langsung blue fire yang katanya cuma ada dua di dunia. Jalur turun ke bawah sangat curam, jadi kita harus extra waspada dan hati-hati. Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di dekat kawah. Beberapa turis lokal maupun asing sudah ada disana, asyik mengabadikan si api biru. Bau belerang yang sungguh menyengat membuatku tidak tahan berlama-lama di bawah, walaupun sudah kututup hidungku dengan syal. Ditambah angin yang bertiup cukup kencang membuat mata perih. Setelah mengambil foto sekedarnya, akupun bergegas naik lagi.



Seorang bapak penambang belerang menawari aku sebuah patung kecil berbentuk kepiting dari belerang seharga 5 ribu rupiah. Aku langsung membelinya tanpa pikir panjang ditambah satu patung lagi berbentuk kura-kura. Hitung-hitung membantu keuangannya walaupun tidak seberapa. Melihat kehidupan para penambang belerang di sini membuatku malu karena sering lupa bersyukur. Mereka para penambang bekerja dari subuh, memikul beban yang tidak ringan, berjalan turun naik di medan yang terjal tanpa mengeluh biar dapur mereka bisa ngebul. Belum lagi dengan ancaman penyakit yang menghantui karena tiap hari menghirup uap belerang.Rata-rata belerang yang bisa dibawa sekali jalan seberat 60 - 80 kg dengan harga 700 rupiah per kilonya. Sehari mereka cuma bisa dua kali mengambil belerang. Jadi bisa dibayangkan berapa penghasilan mereka perharinya.





Hari sudah terang ketika aku sudah sampai diatas. Sementara di bawah kabut tebal dan asap belerang masih menutupi kawah. Aku duduk menikmati pagi itu dengan makan biskuit sambil ngobrol dengan dua orang turis dari Malaysia dan guide yang menjadi teman main domino tadi malam.
How to get there ?
Dari Surabaya naik bus jurusan Bondowoso dengan tarif Rp.50.000,-
Dari Bondowoso naik Elf jurusan Sempol dengan tarif Rp.25.000,-
Dari Sempol naik Ojek ke Paltuding dengan tarif Rp.50.000,- ( nego )
Tarif masuk kawah Ijen : Rp. 5000,-
Disarankan membawa biskuit, permen dan rokok atau camilan kecil lainnya untuk dibagikan kepada penambang belerang yang kita temui di perjalanan. Mereka akan dengan senang hati menerimanya.